Sunday, December 7, 2008

LABBAIKALLAHUMMALABBAIK....

Panggilan haji telah bergema ke segenap penjuru dunia. Panggilan ini bukan berupa genderang yang terdengar saat berperang. Bukan pula tiupan terompet pada saat penggantian tahun. Ini langsung dari Sang Pencipta alam semesta, Sang Pemeberi Rahmat dan kehidupan di seluruh jagat raya.
Jutaan umat pun menyambutnya. Dari berbagai negeri mereka beramai-ramai datang dengan berbagai cara, menuju satu titik, dengan satu tujuan, satu seruan kerinduan…, “Labbaik Allahumma Labbaik… Labbaika La Syarika Laka Labbaik…”
Ribuan malaikat ALLAH pun mengangkut di pundak-pundak mereka kidung jawaban para hamba ALLAH atas panggilan cinta, untuk dihamparkan di Arasy Laisa Kamitslihi Syaiun.
Betapa bahagianya mereka kerana terpilih sebagai tamu ALLAH yang tertulis langsung di Lauhil Mahfuz. Bukan kerana kaya, tampan, ataupun berpangkat. Tetapi kerana taqwa dan percaya akan ALLAH Yang Esa.
Mereka bukan saja akan mencium Hajar Aswad, mengitari Ka’bah, dalam luapan cinta yang mendalam. Mereka bukan saja akan berjajar memenuhi Masjidil Haram. Tetapi mereka juga akan shalat berjemaah dengan semua nabi dan rasul, segenap awliya’, jin-jin mukmin-muslim, bahkan dengan debu-debu dan kehangatan matahari, yang semuanya bertasbih.
Siapa pun yang pernah merasakan kehangatan kasih Sang Khaliq, pastilah ingin senantiasa berkunjung ke rumah-NYA. Dan rasa inilah yang senantiasa menyelimuti hati hamba-hamba-NYA yang shalih, yang tinggi derajat taqwanya serta sangat dekat dengan ALLAH, para kekasih ALLAH.
Bagi mereka, haji bukan sekadar ritus untuk mematangkan dan menyempurnakan rukun Islam. Melainkan, lebih daripada itu, sebuah kunjungan kepada Sang Kekasih Sejati.
Sebagaimana dijelaskan oleh seorang sufi pada abad pertengahan Islam (1000-1250 M) asal Nishafur, Iran, Syaikh Abu Qasim Al-Qushairi, dalam kitabnya, Lathaif Al-Isyarah, ibadah haji laksana mengunjungi rumah seorang sahabat, bahkan kekasih. Tujuannya bukanlah rumah itu, melainkan pemilik rumah itu sendiri.
Demikian pula dengan menasik haji bagi para sufi dan wali, mempunyai erti tersendiri. Misalnya, berangkat dari tanah air ke Tanah Suci Makkah bukan semata-mata berangkat meninggalkan rumah menuju Baitullah. Melainkan, yang lebih penting lagi, meninggalkan semua perbuatan yang mengakibatkan dosa.
Ihram pun demikian. Mereka tidak hanya memakai pakaian yang tidak dijahit. Tetapi, lebih dari itu, melepaskan semua atribut kemanusiaan, dan menganggap manusia sederajat di hadapan Tuhan, kecuali dalam taqwa kepada-NYA.
Wuquf dan bermalam di Padang Arafah, yang dipandang sebagai inti ibadah haji, bagi para kekasih ALLAH, merupakan momen untuk mengalami kehadiran Tuhan dan menyaksikan tanda-tandanya. Hal yang sama juga berlaku untuk wuquf di Muzdalifah, yang secara simbolis merupakan upaya untuk melepaskan diri dari hawa nafsu.
Demikian pula dengan wuquf di Mina. Ia simbol kesediaan diri untuk meninggalkan kesenangan duniawi dan kehendak diri yang tercela.
Ketika sampai di Makkah, para peziarah haji berthawaf mengelilingi Ka’bah, rumah Tuhan, yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Bagi para kekasih ALLAH, Ka’bah merupakan simbol arah dan penunjuk menuju jalan Tuhan.
Thawaf adalah simbol cinta dan kasih sayang. Ia adalah gerakan yang menunjukkan kepemilikan diri manusia kepada Pusat Perputarannya. Makna thawaf hanya dapat diraih oleh orang-orang yang mengetahui kebenaran sejati, yakni para ‘arifin (mereka yang mengenal Tuhan) dan muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan dengan benar).
Tentang sa’i antara Safa dan Marwah, berlari kecil dari Bukit Safa bermakna bahawa peziarah haji mendaki untuk meraih kesucian batin dan pertemuan dengan Tuhan melalui cahaya ilmu pengetahuan. Sementara, Bukit Marwah merupakan pendakian menuju penyucian ruh melalui jalan pertaubatan.
Berkaitan dengan melempar jumrah, para kekasih ALLAH itu memandang bahawa manasik merupakan upaya untuk melemparkan jauh-jauh fikiran dan kehendak yang mementingkan diri sendiri dari hati dan fikiran.
Begitu juga dengan dhahiyyah (berqurban), yang secara formal adalah menyembelih binatang qurban, bagi para kekasih ALLAH itu adalah upaya untuk mengorbankan keinginan-keinginan peribadi untuk meraih cinta dan kedekatan dengan ILLAHI RABBI.
Mereka melaksanakan setiap rukun ibadah Haji itu dengan segenap jiwa dan perasaannya. Berharap-harap cemas, bahkan waswas, jangan-jangan Sang Kekasih menolak cintanya. Seperti yang dialami oleh Imam Ali Zainal Abidin RA, cicit Baginda Nabi Muhammad Sallahu Allaihi wa Sallam.
Ketika itu, ia hendak mengenakan pakaian ihram. Tiba-tiba wajahnya memucat. Bibirnya pun gementar, tidak bisa mengucapkan kalimat Talbiyah. Orang-orang di sekitarnya hairan, hingga beranikan diri bertanya.
“Wahai dzuriyat Rasulullah, mengapa Tuan tidak mengucapkan ‘Labbaik’ saat permulaan ihram?”
Imam Ali RA menjawab, “Aku sangat takut, jangan-jangan dijawab ‘La Labbaik’ (Kehadiranmu tidak diterima).”
Setelah itu, Imam Ali mencuba mengucapkan “Labbaik” dengan beratnya sampai-sampai dia jatuh pengsan dan terjatuh dari untanya.
Setelah siuman, dia mencuba mengucapkan “Labbaik”. Lagi-lagi, dia pengsan.
Begitu seterusnya, hingga seluruh amalan hajinya disempurnakan dalam keadaan seperti itu. Dalam buku Hajinya Para Kekasih ALLAH, karya Syaikh Muhammad Zakariyah, dikisahkan, seorang waliyullah, yang tinggal di Makkah selama 70 tahun, setiap tahunnya menunaikan ibadah haji atau umrah. Akan tetapi, bila memulai ihram untuk haji atau umrah dan mengucapkan “Labbaik”, ia mendapatkan jawaban “La Labbaik”.
Suatu ketika ada seorang pemuda yang memulai ihram bersamanya. Ketika sang wali mendapatkan jawaban “La labbaik”, pemuda itu juga mendengarnya. Si pemuda berkata, “Wahai Syaikh, engkau mendapat jawaban ‘La Labbaik’?”
Sang wali bertanya, “Apakah engkau juga mendengarnya?”
“Ya, aku mendengarnya.”
Mengetahui hal itu, sang wali menangis dan berkata, “Wahai pemuda, sudah 70 tahun aku mendengar jawaban seperti itu.”
Sang pemuda bertanya dengan penuh tanda tanya, “Lalu, mengapa Paman selalu bersusah payah seperti ini?”
“Wahai pemuda, pintu siapa lagi yang harus aku ketuk kalau bukan pintu-NYA? Dan mahu pergi ke mana lagi selain kepada-NYA? Tugasku hanyalah berusaha. Akan diterima atau ditolak, itu terserah DIA. Hanya kerana masalah ini, tidaklah baik seorang hamba lari dari rumah Tuhannya.”
Setelah berkata demikian, sang wali menangis dengan kuatnya sehingga dadanya basah oleh titisan air mata.
Setelah itu, beliau kembali mengucapkan “Labbaik” sekali lagi. Dan beliau mendengar, “Kami telah menerima kehadiranmu. Dan Kami pun berbuat seperti ini kepada setiap orang yang berhusnuzhan kepada Kami. Bukan orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, tetapi mengharapkan rahmat Kami.”
Si pemuda juga mendengar jawaban itu, maka beliau berkata, “Syaikh, apakah engkau mendengar jawaban itu?”
“Ya, aku mendengarnya,” kata sang waliyullah. Kemudian beliau menangis dengan kuatnya sehingga meninggal dunia.

No comments:

JADIKAN RASULULLAH S.A.W. IDOLA KITA..QUDWAH HASANAH..

RINDUKAN LAH AKU PADA SESEORANG YANG MERINDUI SYURGAMU..